Saat pertandingan, seorang atlet dapat mengalami kelelahan
yang diakibatkan oleh dehidrasi. Kelelahan tersebut merupakan dampak dari
penurunan kemampuan kerja otot yang disebabkan kelelahan di tingkat pusat dan
perifer. Oleh karena, dehidrasi dapat menyebabkan hyperosmolarity yang
berdampak pada penurunan sensitivitas saraf otak sehingga terjadi penurunan kemampuan
rekruitmen dan frekuensi pengaktifan motor unit dalam kontraksi otot. Penurunan
kemampuan rekritmen jumlah dan frekuensi pengaktifan motor unit merupakan
penyebab kelelahan pusat. Dehidrasi juga menyebabkan hyperthermia dan
hypovolemia. Hyperthermia dapat mengganggu perambantan impuls dan menimbulkan
kerusakan enzim yang membantu dalam proses metabolisme. Hypovolemia menyebabkan
menurunnya kesediaan oksigen dan energi untuk kontraksi otot. Gangguan perambatan
impuls, kerusakan enzim serta kurangnya kesediaan oksigen dan energi akan
menghambat proses kontraksi otot yang berdampak pada kelelahan perifer. Saat
pertandingan, seorang atlet dapat mengalami penurunan performance yang
diakibatkan oleh kelelahan. Indikator penurunan performance tersebut dengan
cara menilai kerja ototnya, karena performance atlet ditentukan oleh kemampuan
kontraksi otot yang menghasilkan kekuatan otot (kemampuan otot atau sekelompok
otot untuk melakukan satu kali kontraksi secara maksimal untuk melawan tahanan
atau beban), daya tahan otot (kemampuan atau kapasitas sekelompok otot untuk
melakukan kontraksi secara yang berulang-ulang melawan beban tertentu atau
mempertahankan kontraksi dalam jangka waktu lama) sampai power otot (perkalian
kekuatan dengan kecepatan).
Untuk mempertahankan kerja otot saat pertandingan
diperlukan kontribusi dari berbagai faktor yaitu faktor kemampuan pusat
(susunan saraf pusat) untuk mengendalikan kontraksi otot, serta faktor perifer
(di luar susunan saraf pusat) untuk melakukan proses kontraksi otot. Kemampuan
faktor pusat dalam mengendalikan kontraksi otot melalui kemampuan otak dalam
merekrut jumlah motor unit oleh susunan saraf pusat (SSP), sedangkan kemampuan
faktor perifer dalam proses kontraksi otot meliputi kemampuan saraf, kemampuan
mekanik kontraksi dan kesediaan energi untuk kontraksi. Dengan demikian berkurangnya
kerja otot dapat disebabkan karena berkurangnya kemampuan kontraksi otot
ditingkat pusat atau perifer.
Berkurangnya
kemampuan di tingkat pusat dikenal dengan kelelahan pusat dan berkurangnya
kemampuan di perifer dikenal dengan kelelahan perifer. Kelelahan di pusat dan
perifer tersebut bisa disebabkan oleh dehidrasi atau hilangnya cairan tubuh.
Namun bagaimana mekanisme terjadinya kelelahan di pusat dan perifer saat
dehidrasi dikaitkan dengan kemampuan kerja otot. Oleh karena itu, pada makalah
ini akan mengkaji mekanisme kelelahan saat dehidrasi ditinjau dari kemampuan
kerja ototnya.
DEHIDRASI
Keseimbangan air dan elektrolit diperlukan untuk
mempertahankan kesehatan secara umum. Air merupakan komponen utama dalam tubuh yang
jumlahnya sekitar 73% dari lean body mass. Air dalam tubuh didistribusikan
dalam sel dan plasma. Saat tubuh sedang istirahat, sekitar 30-35% air berada di
intra sel, 20-25% berada di interstitial dan sekitar 5% berada di plasma. Peran
air dalam sel sebagai medium dari reaksi biokimia dan peran air dalam plasma
untuk mempertahankan volume darah yang dibutuhkan oleh sistem kardiovaskular. Air
sangat berperan dalam tubuh manusia, namun pada saat melakukan olahraga,
seorang atlet akan banyak kehilangan air melalui keringat. Keringat merupakan mekanisme
pembuangan panas yang paling efektif saat berolahraga. Oleh karena, saat
berolahraga tubuh akan menghasilkan banyak panas yang merupakan hasil dari
metabolism energi untuk mendukung kontraksi otot. Sebesar 70-90% energi yang dilepaskan
dari metabolime tersebut berupa panas dan sisanya baru ATP. Oleh karenanya
tubuh harus efektif dalam membuang panas yang dihasilkan saat berolahraga.
Sebenarnya tubuh memiliki 4 mekanisme pembuangan panas yaitu: radiasi, konduksi,
konveksi dan evaporasi. Radiasi adalah kehilangan panas dalam bentuk sinar
infra merah. Hal ini melibatkan transfer panas dari permukaan satu objek ke
permukaan lainnya tanpa melibatkan kontak fisik. Penting untuk diingat bahwa radiasi
adalah transfer panas melalui sinar infra merah dan dapat menyebabkan hilangnya
panas atau menerima panas bergantung pada kondisi lingkungan. Konduksi
diartikan sebagai transfer panas dari tubuh ke molekul objek yang paling dingin
karena adanya kontak dengan permukaan objek tersebut. Konveksi adalah bentuk
hilangnya panas melalui molekul udara atau molekul air yang terjadi kontak
dengan tubuh. Terakhir adalah evaporasi yaitu pembuangan panas melalui keringat.
Mekanisme pembuangan panas tersebut dipengaruhi beberapa faktor yaitu suhu
lingkungan, kelembaban udara, dan intensitas latihan (Werner, 1993). Mekanisme
pembuangan panas melalui konduksi dan konveksi menjadi tidak efektif ketika
suhu lingkungan panas, bahkan pembuangan panas secara radiasi menjadi tidak
mungkin ketika suhu lingkungan panas (Douglas, 2000).
Dengan demikian, ketika suhu lingkungan panas, maka
pembuangan panas yang paling efektif melalui mekanisme evaporasi. Namun
demikian, efektivitas pembuangan panas melalui evaporasi tersebut tergantung
pada beberapa ukuran tubuh, intensitas latihan, temperatur ambien, kelembaban,
dan aklimasi panas. Seperti pada kondisi udara panas dan kelembaban yang rendah
maka evaporasi akan mampu membuang panas sebesar 98% dari total panas tubuh
(Warner, 1993; Amstrong, 1993). Berdasarkan pada hal tersebut, saat olahraga
maka pembuangan panas melalui mekanisme evaporasi adalah efektif. Namun,
evaporasi tersebut berdampak pada kehilangan cairan tubuh. Menurut Sawka (1995),
saat atlet berolahraga dengan intensitas tinggi akan terjadi pengeluaran
keringat dengan laju sebesar 1.0-2.5 L/jam. Sedangkan menurut Greenleaf (1991),
pembuangan keringat pada suhu panas sekitar 4 -10L/ hari. Padahal, berkurangnya
cairan tubuh sebanyak 1-2% saja dari total body akan mengalami gangguan fungsi
tubuh serta penurunan performance. Hal ini di dukung oleh beberapa penelitian
para ahli diantaranya Amstrong (1985) yang meneliti dampak dehidrasi terhadap
endurance performance pada pelari jarak 1500m, 5000m dan 10.000m. Hasilnya membuktikan
dehidrasi menurunkan endurance performance sebesar 5% pada pelari jarak 5000m
dan 10.000m dan sebesar 3% pada pelari 1500m. Sedangkan penelitian Burge (1993),
dehidrasi pada atlet rowing menurunkan power otot sebesar 5%. Menurut Sawka (1992),
dehidrasi sebesar 8% menurunkan waktu toleransi terjadinya kelelahan. Dengan
demikian, dehidrasi akan mempercepat terjadinya kelelahan.
KELELAHAN
Kelelahan dapat diklasifikasikan menjadi kelelahan
yang berlokasi di sistem saraf pusat yang dikenal dengan kelelahan pusat dan
kelelahan yang berlokasi di luar sistem saraf pusat yang dikenal dengan
kelelahan perifer.
Kelelahan Pusat
Kelelahan pusat disebabkan karena kegagalan sistem
saraf pusat merekrut jumlah dan mengaktifkan motor unit yang dilibatkan dalam kontraksi
otot. Padahal kedua hal tersebut berperan dalam besarnya potensial yang
dihasilkan selama kontraksi otot. Dengan demikian, berkurangnya jumlah motor
unit dan frekuensi pengaktifan motor unit menyebabkan berkurangkan kemampuan
kontraksi otot. Rekruitmen jumlah motor unit juga dipengaruhi oleh motivasi.
Pada perangsangan elektrik pada otot yang lelah masih dapat mengembangkan kekuatan
kontraksi otot. Hal ini membuktikan bahwa pengembangan kekuatan otot tersebut
dapat dipengaruhi oleh aspek psikologis. (Robert, 1999). Selain itu ada
penelitan lain mengenai pengaruh motivasi terhadap performance. Seorang yang
memiliki motivasi yang rendah akan mudah lelah dibandingkan dengan seorang yang
memiliki motivasi tinggi (Robert,1999). Dengan demikian, diyakini bahwa
rendahnya motivasi pada sistem saraf pusat akan menurunkan rekruitmen jumlah
motor unit sehingga terjadi kelelahan pusat.
Kelehanan Pusat
Akibat Dehidrasi
Dehidrasi saat berolahraga dapat menyebabkan
penurunan kemampuan rekruitmen motor unit oleh susunan saraf pusat yang dikenal
dengan kelelahan pusat. Gangguan rekruitmen jumlah motor unit tersebut dikarenakan
gangguan pada susunan saraf pusat akibat hyperthermia (kenaikan suhu inti
tubuh). Hasil penelitian Sawka (1984) menunjukkan dehidrasi sebesar 6%
menyebabkan peningkatan suhu inti tubuh sebesar 0,8oC. Sedangkan Mountain
(1992) mengemukakan peningkatan suhu inti tubuh seiring dengan peningkatan
kehilangan cairan tubuh
(dehidrasi).
Saat tubuh mengalami dehidrasi sebesar 1% terjadi peningkatan suhu inti tubuh
sebesar 0,2oC dan saat tubuh mengalami dehidrasi 6% terjadi peningkatan suhu
inti tubuh sebesar 0,8oC. Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa setiap kehilangan cairan tubuh sebesar 1% akan menyebabkan peningkatan suhu
inti tubuh dari 0,1 sampai 0.23oC.
Peningkatan
suhu inti tubuh tersebut merupakan dampak dari kegagalan tubuh dalam menjaga
suhu tubuh yang stabil. Pusat pengaturan suhu tubuh terletak di hypotamulus.
Anterior hypothalamus bertanggung jawab untuk meningkatnya suhu tubuh,
sedangkan posterior hypothamulus bertanggungjawab untuk penurunan suhu tubuh.
Pada saat olahraga, posterior hypothalamus bekerja untuk membuang panas dengan
merangsang kelenjar keringat untuk membuang panas melalui proses evaporasi.
Banyaknya cairan tubuh yang hilang saat proses evaporasi akan menimbulkan
kehilangan cairan tubuh yang menyebabkan terjadinya hypovolemia dan
hyperosmolarity. Hypovolemia dan hyperosmolarity tersebut dapat mengganggu
proses pembuangan panas tubuh yang akan diuraikan berikut ini. Hypovolemia akan
menyebabkan penurunan volume preload jantung. Penurunan volume preload tersebut
akan menurunkan tekanan atrium (atrial filling pressure), sehingga akan
merangsang baroreseptor Fortney, 1995). Baroreseptor kemudian menginformasikan
melalui serabut eferen ke hypothalamus sebagai pusat regulasi suhu. Respon hypothalamus
akan memprioritaskan sirkulasi pada daerah yang aktif seperti otot dan
mengabaikan daerah lainnya seperti permukaan kulit (Rowell, 1986; Johnson,
1996).
Dengan demikian hipovolemia akan menyebabkan
vasokontriksi pada sirkulasi permukaan kulit. Selain itu, rendahnya tekanan
atrium dan meningkatnya rangsangan baroreseptor secara akan menstimulasi
peningkatan catecholamine dalam plasma (Gonzales, 1995). Peningkatan tersebut
akan menginhibisi respon vasodilatasi. Epinephrine yang merupakan cathecolamine
berperan dalam meningkatkan resistensi vascular cutaneous dan menurunkan aliran
darah. Berkurangnya aliran darah perifer akan menghambat pembuangan panas,
sehingga suhu inti tubuh meningkat. Bahkan menurut Herzman (1960) peningkatan
suhu inti tubuh tersebut akan mengurangi sensitivitas mekanisme berkeringat,
sehingga memperberat kegagalan tubuh untuk membuang panas. Kegagalan tubuh
untuk membuang panas juga disebabkan karena terjadi hyperosmolarity.
Hyperosmolarity diakibatkan oleh penurunan volume plasma selama dehidrasi. Penurunan
volume plasma terjadi karena kehilangan cairan tubuh melalui evaporasi. Namun
pada proses respirasi pun memberi kontribusi terhadap kehilangan cairan tubuh
meski tidak sebanyak melalui evaporasi. Kehilangan cairan tubuh tersebut tidak
sebanding dengan kehilangan ion tubuh. Menurut Greenleaf (1994) kehilangan
cairan tubuh melalui keringat dapat mencapai 4-10 L/hari. Kehilangan ion sodium
cloride tubuh melalui evaporasi sebesar 10-70 mmol/L. Seperti halnya dengan
sodium terdapat kehilangan ion lain bersamaan dengan keringat yaitu potasium
sebesar 3-15 mmol/L, calsium sebesar 0,3-2 mmol/L dan magnsium sebesar 0,2-1,5
mmol/L (Brouns, 1991). Reabsorbsi ion utama tubuh (sodium) oleh kelenjar dengan
cara transport aktif. Namun kecepatan reabsorbsi tersebut tidak seiring dengan
laju kecepatan berkeringat sehingga konsentrasi sodium tersebut meningkat.
(Sawka, 1996). Hal ini didukung oleh penelitian Senay (1968) yang menyatakan adanya
korelasi antara peningkatan laju keringat dengan peningkatan konsentrasi Na+.
Hal tersebut yang membuat terjadinya peningkatan osmolaritas cairan tubuh.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kehilangan cairan tubuh akan meningkatkan
konsentrasi ion utama sehingga terjadi peningkatan osmolaritas cairan tubuh. Menurut
Senay (1979) peningkatan konsentrasi ion utama dan osmolaritas cairan tubuh
juga terjadi pada jaringan non kontraktil seperti sistem saraf pusat
diantaranya adalah hypothalamus. Menurut Douglas (2000) neuron disekitar
hypothalamus sensitif terhadap perubahan osmolaritas. Perbedaan tekanan osmotik
pada area ini akan menyebabkan air bergerak dari jaringan menuju darah,
sedangkan pergerakan ion ke arah yang berlawanan. Hal ini menyebabkan tingginya
konsentrasi ion utama tubuh dalam jaringan. Padahal ratio Na+ dan Ca+2
disekitar neuron hypothalamus mempengaruhi peningkatan suhu inti tubuh. Dengan
demikian, peningkatan ion utama dan osmolaritas menyebabkan terjadi peningkatan
suhu inti tubuh. (Nielsen, 1974). Dari uraian tersebut, menunjukkan bahwa hyperthermia
disebabkan karena hypovolemia dan hyperosmolarity. Hyperthermia tersebut akan berdampak
pada fungsi otak dan sistem saraf sehingga akan menurunkan respon di otak. Hal
tersebut terjadi akibat adanya peningkatan resistensi penyampaian informasi
antar serabut saraf (Senay, 1979). Penurunan respons saraf tersebut akibat
berkurangnya sensitivitas saraf akibat perubahan pada perangsangan membran yang
kemungkinan disebabkan oleh perubahan dalam osmolaritas, konsentrasi Na+,
neurotransmitters, dan perubahan dalam membran itu sendiri. Penurunan
sensitivitas saraf pusat tersebut akan mengganggu proses rekruitmen jumlah
motor unit dan frekuensi pengaktifan motor unit. Menurut Nielsen (1996),
peningkatan suhu inti >39◦C akan terjadi penurunan fungsi dari pusat motor
dan penurunan kemampuan untuk merekrut motor unit. Padahal jumlah motor unit
yang terlibat dan frekuensi pengaktifan motor unit akan menentukan potensial
kontraktil dari otot.
Berkurangnya jumlah motor unit dan frekuensi
pengaktifan motor unit yang berkurang akan menyebabkan penurunan kekuatan kontraksi
otot, daya tahan otot dan power otot. Hal ini didukung oleh penelitian yang
membuktikan bahwa heat stress dapat menyebabkan penurunan maximal aerobic power
sebesar 7% (Sawka, 1985), menurunkan power otot sebesar 7% (Burge, 1993) dan
menurunkan muscle endurance (Douglas, 2000). Rektuitmen jumlah motor unit juga
dipengaruhi oleh motivasi. Heat stress yang diakibatkan dehidrasi dapat
mengganggu fungsi mental (Mountain, 1992) dan menyebabkan terjadinya penurunan
motivasi (Douglas, 2000). Padahal motivasi berperan dalam merekrut jumlah motor
unit. Menurunnya jumlah rekruitmen motor unit akan menimbulkan yang digolongkan
dalam kelelahan sentral. Kelelahan Perifer Akibat Dehidrasi Dehidrasi menyebabkan
gangguan kontraksi otot yang diakibatkan gangguan pada perambatan impuls
(faktor neuromuscular), gangguan pada mekanik kontraksi otot, dan kekurangan
energi untuk kontraksi otot. Gangguan perambatan impuls dikarenakan adanya
perubahan dalam eurotransmitter, osmolaritas, dan konsentrasi Na+. Penurunan
neurotransmitter akan mengganggu perambatan impuls pada synap dan neuromuscular
junction. Hyperosmolarity yang ditunjukkan dengan peningkatan konsentrasi ion
utama tubuh yang berdampak pada penurunan sensitivitas serabut saraf. Penurunan
sensitivitas saraf tersebut akan menimbulkan kegagalan pada kemampuan membran
otot untuk mengkonduksi potensial aksi dan akan menyebabkan blok potensial aksi
pada T tubule. (Scott, 2002) Blok potensial aksi tersebut menyebabkan penurunan
pelepasan Ca++ dari sarcoplasmic retikulum. Dan sebagaimana diketahui Ca++
berperan dalam mekanisme sliding pada kontraksi otot. Selain itu, kontraksi
otot akan terganggu bila terdapat penurunan produksi ATP. Produksi ATP tersebut
ditentukan oleh faktor suplay sumber energi dan oksigen. Sumber energi yang
digunakan saat terjadi dehidrasi adalah glikogen. Menurut Douglas (2000)
terjadi peningkatan degradasi glikogen otot saat terjadi dehidrasi. Rangkaian
katabolisme glikogen dilanjutkan pada rangkaian proses glikolisis yang bisa dilakukan
secara anaeobik atau tanpa kehadiran oksigen dalam metabolismenya dan secara
aerobik atau memerlukan oksigen dalam metabolismenya. Rangkaian glikolisis yang
dilakukan secara anerobik akan menghasilkan asam piruvat, atom hidrogen yang
bergabung dengan NAD+ membentuk NADH dan H+.
Terbentuknya
asam piruvat dan atom hidrogen akan menghentikan proses glikolisis dan berakhirnya
pembentukan ATP. Asam piruvat dalam keadaan anaerob akan di ubah menjadi asam
laktat yang berdifusi dengan mudah keluar sel masuk ke dalam cairan ekstra sel
atau masuk ke dalam cairan intrasel pada sel yang tidak aktif. Rangkaian
glikolisis yang dilakukan secara aerobik setelah katabolisme glukosa menjadi
asam piruvat, maka piruvat tersebut diubah menjadi molekul asetil ko-A yang
akan masuk dalam siklus kreb untuk menghasilkan atom hidrogen. Atom hidrogen
tersebut yang dibawa oleh NADH + H+ dan FADH2 akan dioksidasi dalam rangkaian
electron transport chain dalam mitokondria yang akan menghasilkan ATP. Proses
keberlangsungan reaksi kimia pada rangkaian glikolisis tersebut membutuhkan
enzim. Enzim merupakan katalisator yaitu zat yang mempercepat reaksi kimia.
Enzim merupakan protein yang berperan dalam regulasi jalur metabolisme dalam
sel. Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu yang optimum. Secara umum,
peningkatan kecil suhu tubuh akan berdampak pada peningkatan aktivitas enzim.
Hal ini sangat membantu untuk pemenuhan energi yang meningkat saat olahraga.
Peningkatan suhu yang kecil tersebut akan meningkatkan aktivitas enzim yang
berperan dalam membantu proses metabolisme yang bertujuan untuk menghasilkan
energi. Namun demikian, ketika terjadi peningkatan suhu yang besar akan
berdampak pada penurunan aktivitas enzim. Pada saat dehidrasi akan terjadi
peningkatan suhu otot yang disebabkan berkurangnya perfusi darah dalam jaringan
selama kontraksi dan relaksasi otot. (Douglas, 2000). Dengan demikian peningkatan
suhu tersebut akan mengganggu rangkaian kimia dalam metabolisme glikolisis sehingga
akan menghambat produksi ATP. Produksi ATP melalui rangkaian glikolisis aerobik
memerlukan suplay oksigen yang memadai. Kebutuhan oksigen otot tersebut dipengaruhi
oleh VO2Max yang melibatkan sistem jantung, paru dan pembuluh darah untuk
berfungsi secara optimal dalam mengambil oksigen dan menyalurkannya ke jaringan
yang aktif sehingga dapat digunakan pada proses metabolisme di otot. Dengan
demikian faktor yang berperan dalam VO2Max adalah: (1) kemampuan paru untuk menghirup
udara dan mengalirkan udara melewati permukaan alveolus ke peredaran darah yang
ditandai dengan ventilasi maksimum permenit dan kapasitas difusi paru-paru; (2)
kemampuan darah untuk mengangkut oksigen; (3) kemampuan sirkulasi jantung untuk
menghantarkan oksigen ke otot yang sedang bekerja; (4) kemampuan pembuluh darah
untuk mengalirkan darah ke otot yang bekerja; serta (5) kemampuan otot untuk mentransport
oksigen dari haemoglobin ke mitokondria dan kemampuan mitokondria untuk
menggunakan oksigen. Pada saat dehidrasi terjadi penurunan VO2Max lebih dari 3%
(Sawka, 1999). Penurunan tersebut disebabkan menurunnya kemampuan sistem
respirasi dan kardiovaskular. Pada sistem respirasi terjadi peningkatan tekanan
parsial CO2. Peningkatan CO2 dikarenakan saat dehidrasi tidak terjadi
peningkatan sensitivitas untuk membuang CO2 karena adanya penurunan
sensitivitas sistem saraf pusat. Peningkatan tekanan parsial CO2 akan
mempengaruhi proses difusi gas. Sebagaimana diketahui bahwa proses difusi gas
tersebut dipengaruhi oleh perbedaan tekanan parsial O2 dan CO2. Selain itu,
menurut Sawka (1985) dehidrasi menyebabkan terjadinya penurunan volume darah
yang menyebabkan peningkatan viskositas darah dan menurunkan venous return.
Peningkatan viskositas darah akan menimbulkan peningkatan resistensi sirkulasi
sistemik sehingga akan menurunkan cardiac filling dan menyebabkan penurunan pada
stroke volume, mean artial pressure dan cardiac output. (Allen, 1977; Douglas,
2000). Dehidrasi akan menurunkan kemampuan pengiriman oksigen pada otot dan
menurunkan uptake oksigen oleh otot. Kemampuan penurunan pengiriman oksigen
tergantung pada aliran darah. Saat dehidrasi terjadi peningkatan viskositas
darah dan resistensi sistemik yang berdampak pada penurunan aliran darah.
Selain itu, uptake oksigen oleh otot juga berkurang saat terjadi dehidrasi,
karena penurunan cardiac output. Uptake oksigen oleh otot merupakan kontribusi
dari cardiac output dan arterial-mixed venous oxygen difference. Penurunan
cardiac output akan menghasilkan penurunan uptake oksigen oleh otot yang akan
digunakan untuk proses oksidasi pada rangkaian produksi ATP dalam otot. Berkurangnya
uptake oksigen dalam otot akan menyebabkan otot mengalami hypoxia. Rendahnya oksigen
dalam otot menyebabkan meningkatnya metabolisme energi secara glikolisis
anaerob yang akan menghasilkan laktat. Selain itu, rendahnya oksigen juga
menyebabkan rendahnya aktivitas transport elektron untuk menghasilkan ATP
secara aerob. Dengan demikian rendahnya oksigen dalam otot akan menyebabkan
berkurangnya aktifitas pembentukan energi secara aerob dan meningkatnya
aktifitas pembentukan energi secara anaerob yang menghasilkan asam laktat. Penumpukan
asam laktat akan menurunkan pH sehingga meningkatkan suasana asam dalam sel.
Peningkatan keasaman dalam sel tersebut akan mengganggu stimulasi saraf dan
metabolisme seluler. Oleh karena, aktivitas enzim yang berperan dalam
metabolisme dipengaruhi oleh pH sel. Aktivitas enzim tersebut memerlukan pH
yang optimum, bila terjadi perubahan pH maka akan berdampak pada penurunan
aktivitas enzim tersebut. Dengan demikian penurunan pH tersebut akan
mempengaruhi aktivitas enzim yang berperan membantu proses metabolisme tubuh
untuk menghasilkan energi. Berkurangnya kemampuan metabolisme sel untuk memproduksi
energi akan menurunkan kemampuan otot untuk berkontraksi. Menurunnya kemampuan
otot akibat akumulasi asam laktat disebabkan berkurangnya kecepatan laju
removal asam laktat, yang disebabkan adanya ketidak seimbangan antara produksi
asam laktat dengan removal asam laktat di hati. Kecepatan laju removal asam
laktat memerlukan peningkatan sirkulasi untuk mengangkut asam laktat di otot untuk
dibawa ke hati agar dapat di daur ulang menjadi sumber energy baru melalui
siklus cori. Saat dehidrasi terjadi penurunan sirkulasi serta penurunan aliran
darah sehingga eliminasi asam laktat di otot menjadi terhambat. Hal ini yang
menyebabkan menurunnya kemampuan otot untuk berkontraksi sehingga terjadi
kelelahan di otot yang dikenal dengan kelelahan perifer.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut: (1) Dehidrasi dapat menimbulkan kelehanan di
pusat dan perifer; (2) Kelelahan pusat disebabkan terjadinya hyperosmolarity
yang menyebabkan penurunan sensitivitas saraf otak sehingga terjadi penurunan
kemampuan rekruitmen jumlah motor unit dan frekuensi pengaktifan motor unit
yang dilibatkan dalam kontraksi otot; dan (3) Kelelahan perifer disebabkan
karena hyperthermia mengganggu perambantan impuls dan kerusakan enzim yang
membantu dalam proses metabolisme dan hypovolemia menyebabkan menurunnya
kesediaan oksigen dan energi untuk kontraksi otot.
DAFTAR
PUSTAKA
Amstrong, L.E, Costill, D.L. &
Fink, W.J. 1985. Influence of Diuretic- Induced Dehidration on Competitive
Running Performance. Med Sci Sport Exerc. 59:1394-401.
Allen, T.E., Smith, D.P. &
Mliller, D.K. 1977. Hemodynamic Response to Submaximal Exercise after
Dehydration and Rehydration in High School Wrestler.Med Sci Sport.
9:159-63.
Burge, C.M., Carey, M.F. &
Payne, W.R. 1993. Rowing Performance, Fluid Balance, and Metabolic Function
Following Dehydation and Rehydration. Med Sci Sport Exec. 25:1258-64.
Brouns, F. 1991. Heat-Sweat-Dehydration-Rehydration:
A Praxis Oriented Approach. J Sport Sci.9:143-52.
Douglas, J.C., Lawrance, E.A. &
Scott, J.M., 2000. National Athletic Trainers Association Position
Statement: Fluid Replacement for Athletes. Journal of Athletic Training.
35: 212-224.
Fotney, S.M., Nadel, E.R., Wenger,
C.B. & Bove, J.R. 1981. Effect of Blood Volume on Sweating rate and Body
Fluid in Exercising Humans. J Apply Physiol. 51:1594-600.